Sabtu, 27 Juni 2009

November Rain

Hujan di bulan November. Ketika itu aku masih berumur tujuh tahun, tepat kelas dua sekolah dasar. Aku waktu itu berada di sebuah sudut ibukota Jakarta. Dua minggu “liburan” di sana seakan menjadi sia-sia, karena tiap hari hanya berada di dalam rumah di karenakan keadaaan alam yang kadangng tidak bersahabat. Ya, ibukota pada saat itu sering di guyur hujan, everyday in november rain.


Ketika itu hari Jum’at. Di tempat tinggalku ada dua mesjid yang berbeda arah dari rumahku. Ketika itu aku sedang menunaikan sholat Jum’at di mesjid besar dalam kompleks bersama saudaraku. Sedangkan ayahku pada saat itu melaksanakan sholat Jum’at di mesjid di wilayah pasar yang jaraknya lebih dekat dari rumah. Dari pagi sampai sebelum Jum’atan, keadaan cuaca masih cerah. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Namun ketika sholat Jum’at sudah selesai, hujan pun turun dengan derasnya. Aku dan saudaraku pulang sambil berlari menembus hujan yang lambat laun semakin deras. Setelah sampai di rumah, kudapati ayahku belum pulang. Kata ibuku katanya ayah belum pulang dari mesjid.


Maka akupun beranjak mencari payung bersama saudaraku. Kamipun langsung menuju mesjid dekat pasar. Setelah lama mencari, ayahkupun tidak ditemukan. Kamipun menunggu di teras mesjid dan ayahkupun tetap tidak ada. Kemudian ada tetanggaku yang kebetulan menjadi marbot mesjid tersebut mengatakan bahwa ayahku sudah pulang. Mungkin ayahku lewat jalan yang lain menuju pulang ke rumah. Aku dan saudarakupun langsung pulang ke rumah.

Ketika berjalan menuju rumahku, tiba-tiba kami melihat ada dua orang perempuan yang melambai dan memanggil kami. Kamipun mendekati mereka. Semakin dekat kami tidak mengenali mereka. Kemudian mereka berkata tolong di anterin ke depan kompleks. Karena kami berdua adalah anak yang baik (ciyeee…), maka kamipun mengantar kedua perempuan tadi sampai ke depan kompleks. Kami membuntuti mereka dari belakang, sambil agak menggigil kedinginan karena pakaian kami sudah kebasahan karena cipratan air hujan.


Setelah sampai di depan kompleks, kedua perempuan tadipun menyerahkan payung kami. Namun tidak berapa lama mereka menyerahkan uang lembaran seribuan sebanyak dua lembar kepada kami. Kami berdua kebingungan, apakah maksudnya ini? Kami kan cuma ingin mengantar kedua perempuan tadi ke depan kompleks, ikhlas kok! Kamipun pulang dengan terbengong-bengong. Namun setelah di amat-amati sekelilingku, ternyata banyak juga anak-anak seusiaku yang membawa payung dan mengantarkan “pelanggan”. Akupun bertanya kepada saudaraku, apakah kita ini mungkin disangka tukang “ojek payung” kali ya? Whatever pokoknya mah saya dan saudaraku hanya bisa tersenyum dan tertawa mengalami kejadian yang baru kami alami ini. Kejadian pertama kali.


Begitulah kejadian pertama kali aku menjadi tukang “ojek payung” yang benar-benar tidak di rencanakan. Ternyata menyenangkan juga, di samping kami bisa berhujan-hujanan (meskipun kami di larang untuk hujan-hujanan), kamipun jadi tahu bahwa ternyata banyak anak-anak yang seusia kami (waktu itu) yang menimba rezeki pada saat hujan. Tidak terbayangkan olehku jika anak-anak itu harus tiap hari berhujan-hujan ria menimba rezeki. Ternyata musim hujanpun selalu membawa berkah, khususnya untuk anak-anak seperti mereka (dan kami juga) walaupun cuma “kecelakaan”. Namun bagiku itu adalah satu pengalaman yang unik,hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar