Selasa, 18 Agustus 2009

Petualangan, Kawah dan Kawan

Bicara tempat yang paling indah yang pernah di kunjungi adalah tentunya ada di Bandung. Selain sebagai tempat di mana saya kuliah, juga tempat di mana orang-orang sangat menyukai panorama alamnya dan tentunya juga makanannya. Wisata alam, wisata belanja dan wisata kuliner pokoknya mah lengkap pisan di Bandung.

Ada satu kejadian yang mungkin tidak dapat saya lupakan. Semuanya itu masih berhubungan dengan tempat-tempat indah yang pernah saya kunjungi di kota Bandung. Mungkin bagi sebagian orang tempat-tempat tersebut tidaklah asing mendengarnya.

Ketika itu kurang lebih tahun 2006, setelah selesai “kerjaan” survey penelitian. Saya, Miman (sohibku), Onno (sohib pasca survei) bertemu dan “berreuni” setelah seminggu pasca survey. Saya sengaja datang ke Bandung (dan juga memang sekalian ada suatu keperluan). Saya setiap kali ke Bandung pastilah saya menghubungi sohibku Miman, coz karena saya di Bandung sudah tidak kost lagi, jadi ya sekalian “minta izin” numpang menginap di rumahnya. Meskipun tidak minta juga, yang penting saya telepon dia, dia dan keluarganya pasti welcome kepada saya. Alhamdulillah oleh orangtuanya saya sudah dianggap seperti keluarganya sendiri.

Singkat cerita, di suatu hari, jam 8 pagi, saya dan Miman janjian ketemu dengan Onno di rumahnya, kebetulan dia juga orang Bandung, meskipun aslinya dia orang Indramayu. Ketika bertemu, ujug-ujug ada ide dalam pikiran saya untuk touring ke Gunung Tangkuban Perahu. Secara, motor pun sudah siap tersedia sebanyak tiga motor, tinggal mencari teman teman yang lainnnya. Kamipun teringat dan langsung mengontak teman kami yang kebetulan juga teman survey sebelumnya. Kebetulan juga mereka adalah teman kuliah saya dan Miman, yaitu Intan alias Qiwe, Elissa alias Icha dan Sofi. Qiwe adalah teman seangkatanku dan Miman, sedangkan Icha dan Sofi adalah adik kelasku beda satu tahun.

Ternyata ajakan kami di sambut oleh mereka juga. Jam 10 kami bertiga menjemput satu persatu “mojang-mojang priangan” tersebut. Di mulai dari Qiwe, Icha dan kemudian Sofi. Jam satu siang ba’da dzuhur kamipun on the way, touring menuju tempat yang akan kami tuju yaitu Gunung Tangkuban Perahu.

Dalam perjalanan saya membonceng Qiwe, Miman membonceng Sofi dan Onno membonceng Icha. Selama di perjalanan kami saling mengobrol (tentunya dengan partner boncengan masing-masing). Kami sempat juga mampir (sarapan siang) di salah satu warung sate kelinci. Ini merupakan pengalaman pertama saya juga saya memakan sate kelinci.

Karena perjalanan menuju Gunung Tangkuban Perahu lumayan cukup jauh, jadi kami pun sampai ke tempat tujuan kurang lebih jam empat sore. Alhamdulillah sampe juga, karena ini juga merupakan “kunjungan” pertama saya ke Gunung Tangkuban Perahu. Selama di sana, kami berenam juga menyempatkan untuk di foto dengan back ground salah satu kawah Gunung Tangkuban Perahu.

Ketika itu suasana di sana masih ramai dengan pengunjung dan tentunya juga dengan pedagang-pedagang dan beberapa petugas penjaga. Kami juga sempat melaksanakan sholat ashar dulu di mushola setempat yang berada di sekitar tempat wisata tersebut.

Waktu sudah menunjukkan jam setengah lima sore, para mojang priangan mengajak kami untuk turun ke kawah (lupa lagi nama kawahnya). Tidak ada dalam pikiran saya (dan mungkin juga yang lainnya) untuk turun ke kawah tanpa membawa bekal apapun, jangankan makanan, air mineral pun kami semua seakan “lupa” untuk membawanya.

Ketika kami semua mulai menuruni jalan-jalan setapak menuju kawah, tidak ada halangan atau rintangan. Namun apa daya setelah mencapai “pintu masuk” kawah ternyata di tutup dengan pagar yang menandakan bahwa di larang untuk turun ke kawah. Kami semua “kecewa” dan kami pun beristirahan sebentar di kursi papan yang ada di situ.

Tidak berapa lama kabut mulai menutupi dan seakan-akan “mengejar” kami. Onno dan Miman langsung berkata kepada kami untuk cepat-cepat ke atas dan pulang. Karena mungkin akan adanya kabut yang pekat yang bisa menghalangi jarak pandang kami. Dan yang di takutkan lagi yaitu kabut yang akan membuat kami tersesat di tempat itu.

Dengan sisa tenaga kami yang ada, dengan jalan tergopoh-gopoh (apa ya istilah tepatnya, hehehe), dengan mulut dan kerongkongan yang kering karena tidak ada minuman dan dengan kabut yang mulai mengejar kami, kami berusaha dan terus berusaha untuk “berjuang” untuk “hidup” (duuh segitunya ya kata-katanya, hehehe). Sebagai lelaki kami berusaha untuk mengutamakan keselamatan para mojang tersebut. Secara, kami hanya menuruni kawah hanya dengan waktu 15 menitan, tetapi untuk naik dengan melewati jalan setapak yang berliku dan menanjak kurang lebih butuh waktu setengan jam lebih untuk kami menuju “tempat aman”.

Dengan “perjuangan” sekuat tenaga, Alhamdulillah kami pun sampai juga di “tempat aman” (yang juga tempat motor kami simpan). Alangkah kagetnya, ternyata sudah tidak ada seorang pun yang ada di sana. Para pengunjung dan para pedagang maupun petugas sudah pada “pulang”. Kami tersadar bahwa waktu sudah menunjukkan hampir jam enam sore. Ketika itu kabut sudah sangat tebal, hari sudah mulai malam dan kamipun masih kecapaian dan kehausan akibat dari “perjalanan” dari kawah tadi. Dengan semangat dan tenaga yang masih tersisa, kami berusaha menyalakan motor secepatnya dan turun pulang dengan secepat-cepatnya juga. Karena dengan keadaan sudah gelap gulita dan tidak ada penerangan, maka kami berusaha naik motor menuruni jalan untuk cepat sampai ke jalan besar atau jalan utama.

Tidak lama kemudian kami pun sampai di jalan utama yang cukup masih ramai dan dengan banyaknya penerangan jalan yang cukup. Kami pun langsung mencari warung untuk membeli air minum. Tidak dapat di bayangkan bagaimana sangat hausnya saat itu. Untuk saya, Miman dan Onno sih mungkin tidak terlalu (mungkin, hehehe), yang sangat di kasihani adalah mojang-mojang yang kami ajak (betul tidak Intan, Icha dan Sofi, hehehe). Untuk “menenangkan hati” dari rasa was-was, kami pun berhenti dulu di salah satu tempat makanan jajanan serabi yang sangat terkenal di daerah Setiabudhi Bandung.

Itulah salah satu pengalaman yang terjadi di tahun 2006. Memang tidak seberapa, tapi hal tersebut bisa menjadi “tragis” apabila kami tidak ada semangat untuk “hidup” (wadduh maaf ya bila kata-katanya terlalu hiperbola, hehehe). Dengan tidak lupa berdoa dan selalu ingat kepada-Nya, apapun yang kita lakukan hanyalah mengikuti takdir kita.

Untuk Miman, kamu sampai kapanpun tetap sahabatku yang paling baik..

Untuk Onno, semoga betah di Surabaya sana dan selalu bahagia dengan keluarga barumu ya..

Untuk Qiwe, be you’re self dan teruslah menjadi “intan yang berkilau”..

Untuk Icha, yang sekarang sudah jadi Bu Guru (masih kan Cha?), tetaplah menjadi Icha yang lucu dan imut..

Untuk Sofi, di manapun kamu, ternyata kamu baik juga dan tidak manja ya...

Thanks ya atas pengalaman touring sehari bersama kami..

Oiya Miman, Onno, Qiwe, Icha dan Sofi, kalau ada kata-kata di cerita ini yang tidak berkenan atau mungkin ada kesalahan, tolong koreksi ya..

Minggu, 09 Agustus 2009

Ketika Tak Gendong Tiada Lagi

KETIKA jurang kejujuran semakin menyeret kita lebih dalam. Ketika dunia kita di suguhi “perebutan” kekuasaan, “kecemburuan sosial” dan lain sebagainya. Ketika “virus-virus” mematikan semakin merajalela di setiap tapak langkah kita. Ketika “teror-teror” silih datang dan pergi membawa duka. Terdapat “satu hal” yang telah hilang meninggalkan kita semua selamanya.

MBAH SURIP. Sosok “fenomenal” beberapa waktu terakhir ini, telah meninggalkan dunia ini dengan semua kesahajaannya. Meninggalkan semua yang mencintainya. Meninggalkan semua yang “haus” keberadaannya. Meninggalkan pelajaran sederhana bagi kita yang menyadarinya. Dan tentunya meninggalkan kesedihan bagi orang-orang yang mencintainya.

CARA Mbah Surip mengambil jarak dari “yang normal” memanglah sangat menarik perhatian kita, terlepas dari apakah itu di sengaja atau tidak. Rambut di biarkan gimbal, penutup kepala dan pakaian yang berwarna-warni, ketawa yang khas, pecinta berat minuman kopi, ke mana-mana naik motor ataupun ojek, barang tentu hal tersebut memang di sengaja. Namun yang lebih menarik adalah bagaimana Mbah Surip mencemoohkan pembedaan antara “fakta” dan “fiksi”, antara “dongeng” dan “kenyataan”, antara “bercanda” dan yang“bersungguh-sungguh”. Menghadapi orang semacam Mbah Surip memang tidak lagi penting untuk melakukan cek dan ricek, cover both side, dan ataupun menggunakan rumus-rumus yang semacam. Maka, jadilah “dongeng” tentang Mbah Surip menjadi “fakta” dan “fakta” Mbah Surip menjadi sebagai “dongeng”.

SEMUA berfinal pada “meledaknya” lagu “Tak Gendong”-nya Mbah Surip. Sebuah lagu yang syarat makna, filosofis dan mengena, sesuai dengan keadaan bangasa ini yang sangat memerlukan “pertolongan” untuk di gendong. Tidak di pungkiri hampir setiap hari kita di jejali dengan lirik-lirik lagu tersebut, sehingga lama kelamaan membuat telinga kita menjadi “terbiasa”, juga terbiasa untuk mendendangkan lirik-lirik lagu tersebut, di manapun dan kapanpun. Fakta yang menarik adalah “gossip” tentang raihan uang milyaran rupiah hasil dari Ring Back Tone (RBT) lagu Tak Gendong yang konon diunduh mencapai dua juta kali. Jika dari satu kali unduh RBT lagu Tak Gendong Mbah Surip mendapat royalty dua ribu rupiah (misalnya), maka uang royalti hasil kerja keras Mbah Surip lewat lagu tersebut bisa mencapai empat milyar rupiah!!! Benar-benar dongeng yang fakta bukan? Namun semua itu sampai kini, sampai beberapa hari setelah kematiannya, royalti yang seharusnya menjadi hak milik Mbah Surip ataupun ahli warisnya masih menjadi polemik.

JIKA popularitas puncak dan uang banyak yang di capainya, kita baca sebagai ujung dari mimpi dan cita-citanya, berarti “tugas” Mbah Surip di dunia ini sudah selesai. Peristiwa kematiannya dan penguburannya yang mendapatkan liputan yang amat luas selama berhari-hari, bahkan Presiden SBY pun perlu menggelar konferensi pers khusus untuk memberikan komentar atas kematiannya. Fenomena Mbah Surip mungkin juga bisa di jadikan simbol, bahwa apapun yang di cita-citakan, jika di tempuh dengan kerja keras, ulet, sabar, sambil mengupayakan sebuah ciri pembeda, akhirnya dapat menjadi kenyataan.

ADALAH tanggung jawab dan tugas dari kita yang masih hidup, untuk membereskan semua hal yang menjadi beban dalam gendongan Mbah Surip. Sebagai bangsa yang besar, negara yang sangat kaya raya, dengan kekayaan budaya yang juga tidak terhingga, memiliki religiusitas yang tinggi, tetapi kita masih terpuruk dalam ketidaksejahteraan. Sukses dan semangat Mbah Surip harus bisa menjadi pemicu dan pemacu agar bangsa ini bisa segera terbebas dari ketidaksejahteraan dan juga terbebas dari mulai hilang atau melemahnya tentang jatidiri.

SATU fakta yang menarik, setelah kematian Mbah Surip, masih ada dan masih banyak orang-orang yang “menggilainya”. Seperti berburu aksesoris ala Mbah Surip, “setia” dengan RBT Tak Gendong-nya, dan lain sebagainya. Namun ada satu fakta yang sangat mengejutkan, topi warna-warni yang selama ini di pakai oleh Mbah Surip, akan siap di lelang dan di perebutkan oleh para pemburu kolektor dan orang-orang kaya di negeri ini. Yang lebih fantastis lagi, konon “hanya” untuk sebuah “topi warna-warni” tersebut ada yang menawarnya sampai seharga satu milyar rupiah! Cckkcckkcckk…

Mbah Surip, i love you full! Mbah Surip, we love you full!

Penyemangat Diri

Apa yang anda sukai dari diri “saya” ini adalah sama dengan apa yang “saya” suka dengan apa yang di lakukan oleh diri “saya” ini. Semua yang terjadi di dalam kehidupan menjadikan terciptanya suatu “penemuan jati diri” setelah melalui berbagai proses “pencarian jati diri”.

Seseorang dapat di katakan “sempurna” (meskipun tidaklah mungkin untuk menjadi sempurna, setidaknya mendekati) adalah dengan cara apa yang kita tahu, apa yang kita bisa pelajari dan apa yang bisa kita perbuat, maka lakukanlah dengan bijak. Dengan kata lain, bahwa apapun resikonya, kita harus bisa menerimanya dengan “berfikir positif”.

Apa yang di lakukan di mulai dari sebuah kebiasaan yang terjadi secara terus menerus tanpa kita tahu kapan kita akan berhenti. Dengan mempergunakan ”intuisi” ataupun apapun namanya, sesuatu yang di lakukan dengan efektif dan efisien akan mendapatkan hasil yang agak “berbeda”.

Berikut adalah beberapa rincian apa yang membuat “saya” suka dan apa yang membuat orang lain suka kepada “saya”:

Dzikrulloh

Dalam keadaan apapun kita harus senantiasa untuk ingat kepada yang menciptakan kita, Alloh SWT. Selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Selain menambah pahala tentunya, maka kita pun akan ikut terjaga pula dari hal-hal yang tidak kita inginkan.

Ridho orang tua = Ridho-Nya

Orang tua, orang tua kandung kita, ayah ibu kita maupun orang-orang yang “di tuakan”, merupkan salah satu sumber keberhasilan diri kita. Orang tua adalah “sang pembuka jalan” dari berbagai pintu kebahagiaan kita. Jagalah sikap dan sifat kita, lisan dan laku kita kepada orangtua kita, karena ridho orang tua adalah ridho-Nya dan murka orang tua adalah murka-Nya juga.

Friendship

Siapapun orang yang kita kenal, maka perlakukanlah dia dengan sebaik-baiknya, tanpa melihat apa yang akan kita dapatkan, tetapi kita harus berfikir apa yang harus dan bisa kita berikan. Jadikanlah dia menjadi seorang yang kita anggap sebagai “keluarga baru” kita.

Flexibel

Sesama manusia kita adalah sama. Perbedaan yang ada hanyalah suatu “dinamika” yang bisa di jadikan suatu acuan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Siapapun diri kita dan siapapun teman atau keluarga kita, kita memiliki satu tujuan, yaitu untuk menjadi manusia yang lebih dan lebih baik lagi.

Say thank’s to…

Selalu mengucapkan terima kasih dalam keadaan apapun. Ketika kita sedang mendapatkan kebahagiaan, selalulah kita untuk mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah memberi kebahagiaan tersebut, tanpa kita lupa, kita juga harus mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Pemberi Kebahagiaan. Demikian juga apabila kita mendapatkan kesusahan ataupun musibah, kita harus tetap “berterima kasih”, karena itu (mungkin) merupakan salah satu “jalan kebaikan” dari sesuatu yang akan kita dapatkan nanti.

Berfikir Positif

Berfikir positif sangatlah di perlukan oleh kita, agar dapat kita tempatkan di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja dan bagaimanapun juga. Kita ambil sisi positfnya saja dari segala hal yang menimpa diri kita, baik fisik, kebahagiaan, hadiah, musibah, cacian dan lain-lain.

Setia

Setia dan kesetian. Bila kita telah menaruhkan satu pilihan mengenai apapun, berusahalah untuk mempertahankannya dan menjadikannya merupakan “satu-satunya” yang kita miliki. Perlakukanlah sewajarnya, jangan berlebih-lebihan, dan tempatkanlah di tempat yang paling tinggi di hati kita.

Membumi

Ketika suatu sikap maupun sifat yang ada di dalam diri kita bekerja, maka mulailah untuk di biasakan bahwa apa yang kita miliki merupakan pemberian-Nya. Apa yang kita terima adalah apa yang menurut-Nya adalah yang terbaik untuk kita. Janganlah kita melihat ke atas terus, karena hal tersebut tidak akan ada habisnya. Biasakan juga untuk selalu melihat ke bawah, karena dalam hal tersebut kita akan mendapatkan pelajaran dan selalu mengucapkan rasa syukur kepada-Nya.

Mencoba hal-hal yang baru

Seiring dengan kemajuan zaman, seiring bertambah tuanya umur kita, seiring itu pulalah hal-hal yang baru akan terus ada, dalam segala hal. Apa yang menurut kita baik belum tentu baik juga menurut-Nya, begitupun sebaliknya. Namun kita jangan hanya memikirkan apakah hal-hal yang baru itu semuanya adalah baik untuk kita? Pergunakanlah “intuisi” kita untuk memilih dan memilah apa yang menurut kita baik, dengan mempertimbangkan juga baik buruknya. Janganlah malu untuk mencoba dan mencoba terus, karena sisi-sisi positif dari semuanya itu akan menambah kita menjadi manusia yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Jangan mengeluh

Mengeluh adalah suatu bentuk kekecewaan diri kita dalam tidak tecapainya apa yang kita inginkan. Untuk hanya sekedar mengeluh saja memang boleh, akan tetapi janganlah keluhan kita tersebut di jadikan alasan pembenaran mengapa kita “salah” atau “kalah”. Dengan kata lain, apakah dengan mengeluh akan membuat perubahan kepada diri kita? Atau apakah dengan mengeluh semua yang kita inginkan dapat terwujud? Dengan meminimalisasikan mengeluh, maka kita akan terlepas dari bayang-bayang kegagalan.

Masih banyak hal maupun “keunggulan-keunggulan” yang bisa kita banggakan. Namun dari sekian banyaknya “keunggulan” yang di miliki setiap orang, apapun semua itu, maka bisa menjadikan diri kita sendiri menjadi manusia yang seutuhnya.

Berusahalah jangan menilai diri sendiri itu lemah, meskipun faktanya bahwa “keunggulan-keunggulan” yang ada tersebut sangatlah sedikit ataupun tidak ada sama sekali (meskipun sepertinya tidak mungkin).

Tetaplah semangat wahai manusia-manusia “unggul” !!!

Buai Nan Indah

BUAI JINGGA


Telah tertulis suatu anomali

Meresap deras lintasi rongga-rongga keseimbangan

Mengisap aura keakuan insan yang terbuai

Berang menghilang pantas terhempas

Miliki diri tanpa gumam lesu

Ku ingin yang di harapkan bukanlah di mimpikan

Pacu waktu terada tanpa bersia-sia melihatnya

Siapi diri dengan indahnya suatu pengharapan

Tindaklah berhenti

Tak nestapa yang tak mungkin jadi kenangan

Bentangkanlah keajegan

Perlahan berdiam sepi

Sekati suci hati

Enyahkan belenggu berapi

Hingga jingga menyapamu tiada berhenti


Gotentea, 04-12-2004




PERIHAL NAN INDAH


Kuungkapkan suatu perihal

Tertuang dalam laku kebersamaan

Hidup bukanlah hanya kita bertempat

Berserak berbagai penjuru tuntutan nafas

Datang pergi dan awal akhir

Mengitari kita cambuki dan sayangi

Rencana yang tak selamanya bahagia

Kejam untuk bertahan

Sabar untuk perlahan

Hidupkan cahaya terang hati terhampa

Padamkan lentera redup hati terkuat

Tajamkan naluri benamkan kegelisahan

Berharap akhiri dengan keindahan nan indah

Kuingin itu


Gotentea, 04-12-2004

Jumat, 24 Juli 2009

Lima Hari Tak Sempurna

Rabu, lima belas Juli 2009, saya berangkat ke Jakarta bersama ibuku tercinta bermaksud untuk mengantar ibu menengok kakak iparku yang sedang sakit. Saya juga sekalian menemani ibu untuk berkunjung ke rumah kakak-kakakku yang lainnya yang tersebar di beberapa wilayah di Jakarta, Bekasi dan Bogor. Namun untuk “kunjungan pertama” ibuku langsung menuju rumah kakakku yang ke tiga, karena tujuan awalnya adalah untuk menengok kakak ipar, suami dari kakakku yang ke tiga. Kami berangkat dari Banjar jam 08.30 menggunakan transportasi umum yaitu bis. Siang jam jam 15.30 pun kami sampai juga di rumah kakakku di daerah Jati Bening Permai.

Kamis, enam belas Juli 2009, hari berikutnya saya dan ibuku masih berada di rumah kakakku yang ke tiga. Ibu mungkin ingin menginap beberapa hari dulu di sana. Namun dalam hari itu juga ada beberapa kakakku dan anak-anaknya datang bertemu, karena sudah mendengar bahwa neneknya dan pamannya yang ganteng ini (alias aku:) sudah di rumah kakakku yang ke tiga. Hingga sampai malam pun kakakku yang lainnya datang silih berganti hanya untuk bertemu dulu dengan ibuku. Mereka pun bilang kalau mau ke rumah anaknya yang lain, ibuku tinggal bilang saja dan nanti akan di jemput. Sampai hari kedua di rumah kakakku masih dalam keadaan baik-baik saja.

Jumat, tujuh belas Juli 2009, hari berikutnya kami semua menjalani hari-hari seperti biasanya. Setiap pagi di rumah kakakku ini, biasanya setiap jam 06.30 selalu di sediakan “sarapan rutin” lontong isi dan bakwan serta sambal kacang yang pedas. Karena setiap di tawari roti, ibuku selalu tidak mau. Cukup segelas teh manis hangat, lontong dan bakwan. “Sarapan rutin” ini memang sudah menjadi kebiasaan kami, di manapun, baik di Banjar maupun di rumah kakak-kakakku.

Setelah menikmati sarapan pagi, kami sekeluarga selalu menyempatkan menonton berita pagi di berbagai stasiun televisi. Sampai jam 07.30 berita pada pagi itu hanya sekitar pemilu, flu babi dan berita-berita lainnya. Hingga ketika waktu menunjukkan jam 08.00, sebuah televisi menyajikan breaking news. Tanpa saya duga breaking news itu memberitakan tentang adanya ledakan di dua hotel ternama di Jakarta yaitu Hotel JW Marriot dan Hotel The Ritz Carlton. Ketika itu hanya di beritakan ledakan terjadi dari salah satu genset sebuah restoran di salah satu hotel tersebut pada jam 07.40. Namun lama kelamaan ternyata semua stasiun televisi menampilkan berita yang sama dan mulai ada perbedaan dalam isi beritanya, yang tadinya ledakan karena genset, berubah menjadi ledakan karena bom. Bom!!! Kami sekeluargapun langsung kaget mendengarnya. Rasanya sudah beberapa tahun lebih negeri ini tidak mendengar kata-kata itu lagi.

Seketika itupun saya langsung teringat dengan keponakanku yang bekerja di bagian housekeeping Hotel JW Marriot. Saya langsung berkata kepada ibu dan kakakku, bahwa kalau tidak salah Adri (keponakanku), sudah beberapa bulan kebagian masuk shift malam. Atau masuk ganti shift setiap jam 23.00 dan pulang ganti shift berikutnya jam 07.00 dan keluar dari hotel untuk pulang biasanya jam 08.00. Itu berarti bahwa Adri berada dalam waktu terjadinya ledakan bom.

Saya langsung mengambil HP dan menekan nomor Adri, ternyata tidak nyambung-nyambung dan terus saya lakukan beberapa kali. Saya juga menelepon kakak saya yang di Banjar (orangtua Adri) menanyakan sudah ada kabar atau belum dari Adri. Kakakku sambil menangis mengatakan bahwa HP-nya Adri tidak bisa di hubungi. Lalu kakakku juga menelepon kakak yang pertama (kan biasanya Adri tidurnya numpang di rumah kakakku yang pertama) dan menjawab hal yang serupa, tidak bisa menghubungi Adri. Hampir sampai jam sembilan kurang kami semua menanti kabar telepon dari Adri!?

Hati kami semakin was-was ketika di Metro Tv menyebutkan salah satu korban ada yang bernama Adri berumur sekitar 20 tahun-an. Kami semua semakin cemas akan hal itu. Saya terus mencoba menghubungi Adri beberapa kali. Dan Alhamdulillah HP saya tersambung namun tidak ada jawaban, itu berarti HP-nya Adri sudah aktif lagi. Saya terus dan terus menghubungi Adri dan Alhamdulillah HP-nya pun di angkat dan terdengar jelas suara keponakanku Adri dengan suara yang terengah-engah. Dia mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan sekarang sedang panik dan juga sedang membantu teman-temannya yang menjadi korban. Dia mengatakan ketika bom tersebut meledak di Hotel JW Marriot, dia sudah berada di luar kawasan hotel dan sedang menunggu kendaraan umum untuk pulang ke rumah uwaknya (kakakku yang pertama). Namun dengan rasa kaget dan panik, dia kembali lagi ke hotel dan membantu teman-temannya yang masih berada di dalam hotel, dan banar saja ada beberapa temannya yang menjadi korban. Itulah yang di ceritakan Adri kepada saya lewat HP-nya. Kami semua bersyukur karena Adri selamat dari kejadian tersebut.

Saya juga mendapatkan kabar dari kakakku yang ke sembilan (kakakku banyak ya, hehehe…), dia mengatakan bahwa suaminya, mas Hendra juga hampir juga menjadi korban bom tersebut. Katanya, mas Hendra masuk pagi dan kebetulan tempat kerjanya di salah satu gedung di samping kedua hotel tersebut. Dia sedang mengendarai motor hendak masuk wilayah tempat kerjanya, ketika melewati hotel tersebut terdengar suara ledakan keras dan mas Hendra jatuh dan terlempar dari motornya di karenakan kaget mendengar ledakan tersebut. Namun Alhamdulillah tidak mengalami luka apapun. Alhamdulillah keluarga saya masih di lindungi Alloh SWT.

Ya… Ledakan bom di Indonesia terjadi lagi. Itu semua di lakukan untuk membuat suasana kacau, panik dengan teror-teror tersebut. Setelah Indonesia beberapa tahun ini di rasakan sudah aman dari aksi teror dan terorisme, sekarang terjadi lagi di Indonesia, tepatnya di ibukota Jakarta. Entah sudah di persiapkan secara matang atau tidak, teror bom ini terjadi sehari sebelum klub sepakbola Manchaster United akan bertandang ke Jakarta untuk melawan Tim Nasional All Stars. Dengan kebetulan juga The Ritz Carlton adalah hotel tempat menginap rombongan tim MU. Dan juga pemain Tim Nasional All Stars kebetulan juga menginap di Hotel JW Marriot. Namun pemain Tim Nasional All Stars selamat dari teror bom tersebut karena mereka sudah keluar untuk latihan jam 07.15, setengah jam sebelum ledakan bom pertama terjadi di Hotel JW Marriot. Dari kejadian dua ledakan bom di dua hotel tersebut, sampai saat ini sudah merenggut 9 orang korban tewas dan puluhan orang luka-luka.

Apa yang “mereka” inginkan dengan membuat teror bom tersebut? Apakah “mereka” tidak mempunyai hati nurani berbuat hal tersebut? Apakah “mereka” juga tidak berfikir apabila yang menjadi korban, terjadi pada anggota keluarga “mereka”? Apakah “mereka” tidak berfikir apa manfaatnya bagi mereka melakukan hal tersebut? “Mereka” memang orang-orang yang tidak bertanggungjawab! Biadab! Tidak berprikemanusiaan! Dan tidak beragama (walaupun mereka memiliki agama dan melakukan hal tersebut atas dasar perintah agama, katanya)!

Sudah cukup sampai di sini aksi-aksi teror dan terorisme terjadi di Indonesia. Biarkan Indonesia menjadi Negara yang damai, aman, tentram, saling toleransi dan sejahtera. Kita tinggal menunggu hasil dan berharap pemerintah bisa menyelesaikan masalah ini dengan tuntas (tentunya tanpa menyudutkan salah satu agama yang ada), sehingga Indonesia menjadi Negara yang diinginkan kita semua. Amiinn…

Sabtu, delapan belas Juli 2009, aktivitas seperti biasanya. Saya juga saling berbagi cerita dengan teman-teman mengenai kejadian teror bom tersebut.

Minggu, sembilan belas Juli 2009, tanpa di duga dan tanpa di inginkan, saya terkena sakit “keram usus” (kira-kira ada tidak ya istiah medisnya:) untuk yang ke tiga kalinya saya nyeri seperti itu. Kejadian seperti itu saya alami terakhir kali ketika kelas tiga SMA dan saya sempat masuk UGD rumah sakit. Namun pertengahan Desember tahun 2008 pun saya pernah mengalami “keram” ini, namun tidak terlalu nyeri dan Alhamdulillah “sembuh” atas bantuan “air doa” dari “seseorang” tercinta (ehemm ehemm…). Setelah berobat di salah satu klinik 24 jam, malam harinya ibu saya ingin pulang saja ke Banjar dan kami pun pulang ke Banjar di antar oleh salah satu kakakku.

Begitulah lima hari saya dan ibu di Jakarta. Di antara teror bom, di antara kakak ipar yang sedang sakit, di antara keponakanku (yang lain) juga sedang sakit, dan di antara saya (juga) yang sedang sakit. Benar-benar lima hari yang tidak sempurna di antara ucap syukur Alhamdulillah dan “suasana yang tidak mendukung”.