Minggu, 09 Agustus 2009

Ketika Tak Gendong Tiada Lagi

KETIKA jurang kejujuran semakin menyeret kita lebih dalam. Ketika dunia kita di suguhi “perebutan” kekuasaan, “kecemburuan sosial” dan lain sebagainya. Ketika “virus-virus” mematikan semakin merajalela di setiap tapak langkah kita. Ketika “teror-teror” silih datang dan pergi membawa duka. Terdapat “satu hal” yang telah hilang meninggalkan kita semua selamanya.

MBAH SURIP. Sosok “fenomenal” beberapa waktu terakhir ini, telah meninggalkan dunia ini dengan semua kesahajaannya. Meninggalkan semua yang mencintainya. Meninggalkan semua yang “haus” keberadaannya. Meninggalkan pelajaran sederhana bagi kita yang menyadarinya. Dan tentunya meninggalkan kesedihan bagi orang-orang yang mencintainya.

CARA Mbah Surip mengambil jarak dari “yang normal” memanglah sangat menarik perhatian kita, terlepas dari apakah itu di sengaja atau tidak. Rambut di biarkan gimbal, penutup kepala dan pakaian yang berwarna-warni, ketawa yang khas, pecinta berat minuman kopi, ke mana-mana naik motor ataupun ojek, barang tentu hal tersebut memang di sengaja. Namun yang lebih menarik adalah bagaimana Mbah Surip mencemoohkan pembedaan antara “fakta” dan “fiksi”, antara “dongeng” dan “kenyataan”, antara “bercanda” dan yang“bersungguh-sungguh”. Menghadapi orang semacam Mbah Surip memang tidak lagi penting untuk melakukan cek dan ricek, cover both side, dan ataupun menggunakan rumus-rumus yang semacam. Maka, jadilah “dongeng” tentang Mbah Surip menjadi “fakta” dan “fakta” Mbah Surip menjadi sebagai “dongeng”.

SEMUA berfinal pada “meledaknya” lagu “Tak Gendong”-nya Mbah Surip. Sebuah lagu yang syarat makna, filosofis dan mengena, sesuai dengan keadaan bangasa ini yang sangat memerlukan “pertolongan” untuk di gendong. Tidak di pungkiri hampir setiap hari kita di jejali dengan lirik-lirik lagu tersebut, sehingga lama kelamaan membuat telinga kita menjadi “terbiasa”, juga terbiasa untuk mendendangkan lirik-lirik lagu tersebut, di manapun dan kapanpun. Fakta yang menarik adalah “gossip” tentang raihan uang milyaran rupiah hasil dari Ring Back Tone (RBT) lagu Tak Gendong yang konon diunduh mencapai dua juta kali. Jika dari satu kali unduh RBT lagu Tak Gendong Mbah Surip mendapat royalty dua ribu rupiah (misalnya), maka uang royalti hasil kerja keras Mbah Surip lewat lagu tersebut bisa mencapai empat milyar rupiah!!! Benar-benar dongeng yang fakta bukan? Namun semua itu sampai kini, sampai beberapa hari setelah kematiannya, royalti yang seharusnya menjadi hak milik Mbah Surip ataupun ahli warisnya masih menjadi polemik.

JIKA popularitas puncak dan uang banyak yang di capainya, kita baca sebagai ujung dari mimpi dan cita-citanya, berarti “tugas” Mbah Surip di dunia ini sudah selesai. Peristiwa kematiannya dan penguburannya yang mendapatkan liputan yang amat luas selama berhari-hari, bahkan Presiden SBY pun perlu menggelar konferensi pers khusus untuk memberikan komentar atas kematiannya. Fenomena Mbah Surip mungkin juga bisa di jadikan simbol, bahwa apapun yang di cita-citakan, jika di tempuh dengan kerja keras, ulet, sabar, sambil mengupayakan sebuah ciri pembeda, akhirnya dapat menjadi kenyataan.

ADALAH tanggung jawab dan tugas dari kita yang masih hidup, untuk membereskan semua hal yang menjadi beban dalam gendongan Mbah Surip. Sebagai bangsa yang besar, negara yang sangat kaya raya, dengan kekayaan budaya yang juga tidak terhingga, memiliki religiusitas yang tinggi, tetapi kita masih terpuruk dalam ketidaksejahteraan. Sukses dan semangat Mbah Surip harus bisa menjadi pemicu dan pemacu agar bangsa ini bisa segera terbebas dari ketidaksejahteraan dan juga terbebas dari mulai hilang atau melemahnya tentang jatidiri.

SATU fakta yang menarik, setelah kematian Mbah Surip, masih ada dan masih banyak orang-orang yang “menggilainya”. Seperti berburu aksesoris ala Mbah Surip, “setia” dengan RBT Tak Gendong-nya, dan lain sebagainya. Namun ada satu fakta yang sangat mengejutkan, topi warna-warni yang selama ini di pakai oleh Mbah Surip, akan siap di lelang dan di perebutkan oleh para pemburu kolektor dan orang-orang kaya di negeri ini. Yang lebih fantastis lagi, konon “hanya” untuk sebuah “topi warna-warni” tersebut ada yang menawarnya sampai seharga satu milyar rupiah! Cckkcckkcckk…

Mbah Surip, i love you full! Mbah Surip, we love you full!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar