Selasa, 18 Agustus 2009

Petualangan, Kawah dan Kawan

Bicara tempat yang paling indah yang pernah di kunjungi adalah tentunya ada di Bandung. Selain sebagai tempat di mana saya kuliah, juga tempat di mana orang-orang sangat menyukai panorama alamnya dan tentunya juga makanannya. Wisata alam, wisata belanja dan wisata kuliner pokoknya mah lengkap pisan di Bandung.

Ada satu kejadian yang mungkin tidak dapat saya lupakan. Semuanya itu masih berhubungan dengan tempat-tempat indah yang pernah saya kunjungi di kota Bandung. Mungkin bagi sebagian orang tempat-tempat tersebut tidaklah asing mendengarnya.

Ketika itu kurang lebih tahun 2006, setelah selesai “kerjaan” survey penelitian. Saya, Miman (sohibku), Onno (sohib pasca survei) bertemu dan “berreuni” setelah seminggu pasca survey. Saya sengaja datang ke Bandung (dan juga memang sekalian ada suatu keperluan). Saya setiap kali ke Bandung pastilah saya menghubungi sohibku Miman, coz karena saya di Bandung sudah tidak kost lagi, jadi ya sekalian “minta izin” numpang menginap di rumahnya. Meskipun tidak minta juga, yang penting saya telepon dia, dia dan keluarganya pasti welcome kepada saya. Alhamdulillah oleh orangtuanya saya sudah dianggap seperti keluarganya sendiri.

Singkat cerita, di suatu hari, jam 8 pagi, saya dan Miman janjian ketemu dengan Onno di rumahnya, kebetulan dia juga orang Bandung, meskipun aslinya dia orang Indramayu. Ketika bertemu, ujug-ujug ada ide dalam pikiran saya untuk touring ke Gunung Tangkuban Perahu. Secara, motor pun sudah siap tersedia sebanyak tiga motor, tinggal mencari teman teman yang lainnnya. Kamipun teringat dan langsung mengontak teman kami yang kebetulan juga teman survey sebelumnya. Kebetulan juga mereka adalah teman kuliah saya dan Miman, yaitu Intan alias Qiwe, Elissa alias Icha dan Sofi. Qiwe adalah teman seangkatanku dan Miman, sedangkan Icha dan Sofi adalah adik kelasku beda satu tahun.

Ternyata ajakan kami di sambut oleh mereka juga. Jam 10 kami bertiga menjemput satu persatu “mojang-mojang priangan” tersebut. Di mulai dari Qiwe, Icha dan kemudian Sofi. Jam satu siang ba’da dzuhur kamipun on the way, touring menuju tempat yang akan kami tuju yaitu Gunung Tangkuban Perahu.

Dalam perjalanan saya membonceng Qiwe, Miman membonceng Sofi dan Onno membonceng Icha. Selama di perjalanan kami saling mengobrol (tentunya dengan partner boncengan masing-masing). Kami sempat juga mampir (sarapan siang) di salah satu warung sate kelinci. Ini merupakan pengalaman pertama saya juga saya memakan sate kelinci.

Karena perjalanan menuju Gunung Tangkuban Perahu lumayan cukup jauh, jadi kami pun sampai ke tempat tujuan kurang lebih jam empat sore. Alhamdulillah sampe juga, karena ini juga merupakan “kunjungan” pertama saya ke Gunung Tangkuban Perahu. Selama di sana, kami berenam juga menyempatkan untuk di foto dengan back ground salah satu kawah Gunung Tangkuban Perahu.

Ketika itu suasana di sana masih ramai dengan pengunjung dan tentunya juga dengan pedagang-pedagang dan beberapa petugas penjaga. Kami juga sempat melaksanakan sholat ashar dulu di mushola setempat yang berada di sekitar tempat wisata tersebut.

Waktu sudah menunjukkan jam setengah lima sore, para mojang priangan mengajak kami untuk turun ke kawah (lupa lagi nama kawahnya). Tidak ada dalam pikiran saya (dan mungkin juga yang lainnya) untuk turun ke kawah tanpa membawa bekal apapun, jangankan makanan, air mineral pun kami semua seakan “lupa” untuk membawanya.

Ketika kami semua mulai menuruni jalan-jalan setapak menuju kawah, tidak ada halangan atau rintangan. Namun apa daya setelah mencapai “pintu masuk” kawah ternyata di tutup dengan pagar yang menandakan bahwa di larang untuk turun ke kawah. Kami semua “kecewa” dan kami pun beristirahan sebentar di kursi papan yang ada di situ.

Tidak berapa lama kabut mulai menutupi dan seakan-akan “mengejar” kami. Onno dan Miman langsung berkata kepada kami untuk cepat-cepat ke atas dan pulang. Karena mungkin akan adanya kabut yang pekat yang bisa menghalangi jarak pandang kami. Dan yang di takutkan lagi yaitu kabut yang akan membuat kami tersesat di tempat itu.

Dengan sisa tenaga kami yang ada, dengan jalan tergopoh-gopoh (apa ya istilah tepatnya, hehehe), dengan mulut dan kerongkongan yang kering karena tidak ada minuman dan dengan kabut yang mulai mengejar kami, kami berusaha dan terus berusaha untuk “berjuang” untuk “hidup” (duuh segitunya ya kata-katanya, hehehe). Sebagai lelaki kami berusaha untuk mengutamakan keselamatan para mojang tersebut. Secara, kami hanya menuruni kawah hanya dengan waktu 15 menitan, tetapi untuk naik dengan melewati jalan setapak yang berliku dan menanjak kurang lebih butuh waktu setengan jam lebih untuk kami menuju “tempat aman”.

Dengan “perjuangan” sekuat tenaga, Alhamdulillah kami pun sampai juga di “tempat aman” (yang juga tempat motor kami simpan). Alangkah kagetnya, ternyata sudah tidak ada seorang pun yang ada di sana. Para pengunjung dan para pedagang maupun petugas sudah pada “pulang”. Kami tersadar bahwa waktu sudah menunjukkan hampir jam enam sore. Ketika itu kabut sudah sangat tebal, hari sudah mulai malam dan kamipun masih kecapaian dan kehausan akibat dari “perjalanan” dari kawah tadi. Dengan semangat dan tenaga yang masih tersisa, kami berusaha menyalakan motor secepatnya dan turun pulang dengan secepat-cepatnya juga. Karena dengan keadaan sudah gelap gulita dan tidak ada penerangan, maka kami berusaha naik motor menuruni jalan untuk cepat sampai ke jalan besar atau jalan utama.

Tidak lama kemudian kami pun sampai di jalan utama yang cukup masih ramai dan dengan banyaknya penerangan jalan yang cukup. Kami pun langsung mencari warung untuk membeli air minum. Tidak dapat di bayangkan bagaimana sangat hausnya saat itu. Untuk saya, Miman dan Onno sih mungkin tidak terlalu (mungkin, hehehe), yang sangat di kasihani adalah mojang-mojang yang kami ajak (betul tidak Intan, Icha dan Sofi, hehehe). Untuk “menenangkan hati” dari rasa was-was, kami pun berhenti dulu di salah satu tempat makanan jajanan serabi yang sangat terkenal di daerah Setiabudhi Bandung.

Itulah salah satu pengalaman yang terjadi di tahun 2006. Memang tidak seberapa, tapi hal tersebut bisa menjadi “tragis” apabila kami tidak ada semangat untuk “hidup” (wadduh maaf ya bila kata-katanya terlalu hiperbola, hehehe). Dengan tidak lupa berdoa dan selalu ingat kepada-Nya, apapun yang kita lakukan hanyalah mengikuti takdir kita.

Untuk Miman, kamu sampai kapanpun tetap sahabatku yang paling baik..

Untuk Onno, semoga betah di Surabaya sana dan selalu bahagia dengan keluarga barumu ya..

Untuk Qiwe, be you’re self dan teruslah menjadi “intan yang berkilau”..

Untuk Icha, yang sekarang sudah jadi Bu Guru (masih kan Cha?), tetaplah menjadi Icha yang lucu dan imut..

Untuk Sofi, di manapun kamu, ternyata kamu baik juga dan tidak manja ya...

Thanks ya atas pengalaman touring sehari bersama kami..

Oiya Miman, Onno, Qiwe, Icha dan Sofi, kalau ada kata-kata di cerita ini yang tidak berkenan atau mungkin ada kesalahan, tolong koreksi ya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar