Jumat, 24 Juli 2009

Suara Ku Di Subang

Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi cerita dengan teman-teman semua, tentang salah satu pengalaman “real” yang saya alami. Mungkin untuk sebagian teman-teman menganggap “so what gitcuh lho” terhadap cerita ini (mungkin, mudah-mudahan tidak ada:). Tapi ini mungkin merupakan salah satu bentuk “kasih sayang” Alloh SWT terhadap saya, untuk selalu ingat kepada-Nya.

Kejadian ini saya alami setahun yang lalu sekitar bulan Maret 2008, untuk tanggal tepatnya saya lupa lagi. Mungkin “kisah” ini pernah saya “sentil” pada posting-posting sebelumnya di blog saya ini. Ya kejadian yang mungkin bisa membuat saya “shock”. Namun kejadian tersebut selalu membawa hikmah untuk kehidupan saya ke depannya. Untuk cerita lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:

Hari itu saya masih ingat, yaitu pada hari Senin di bulan Maret 2008. Saya kebetulan pada waktu itu sedang ada dalam pekerjaan dalam melakukan riset lapangan dengan melakukan wawancara-wawancara dengan “responden-responden” yang telah di tentukan sebelumnya. Kebetulan saya termasuk ke dalam Tim Komfas (Komunitas dan Fasilitas) Jabar B yang hanya beranggotakan 4 orang yaitu saya, Rizal, Neti dan Ria. Saya dan Ria adalah ujung tombaknya alias dalam bahasa orang lapangannya adalah “enumerator lapangan”. Rizal sebagai ketua tim sedangkan Neti sebagai editor alias entri data.

Singkat kata kami sudah memasuki wilayah pencacahan (wilcah) atau wilayah tempat penelitian yang ke-5. Tiap wilayah pencacahan, kami di berikan waktu kurang lebih 5-6 hari untuk menyelesaikan pencarian data yang valid di lapangan. Wilcah yang ke-5 tersebut adalah salah satu wilayah kelurahan di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kami ke mana-mana, mulai dari mencari data ke lapangan, pindah cari-cari “basecamp” untuk tempat tinggal dan lain-lain dengan menggunakan dua buah kendaraan motor. Tidak di bayangkan bagaimana setiap kali kami pindah ke wilcah lain. Dalam satu motor kami penuh dengan barang-barang bawaan seperti pakaian, kuesioner penelitian dan barang-barang lainnya. Sehingga lebih tepat, kami seperti orang yang sedang mau mudik lebaran.

Di Subang kami mendapatkan “basecamp” yang merupakan kenalan dari teman kami, Rizal. Kami merasa betah di sana, selain yang punya rumah orangnya ramah juga kami sudah di anggap sebagai anak mereka sendiri. Hari pertama tiba sampai hari kelima kami merasakan tidak ada gangguan ataupun halangan dalam pencarian data ke lapangan. Namun ketika masuk hari ke enam yaitu pada hari Senin mulailah ada suatu kejadian yang membuat saya “shock”.

Pada hari ke lima sebelumnya kami sudah merasa yakin sudah bisa menyelaesaikan semua tugas wawancara ke responden-responden. Kami hanya menyisakan dua wawancara dengan sebuah Puskesmas yang telah di janjikan bisa wawancara pada hari Senin dan satu lagi menyelesaikan sebagian wawancara dengan satu sekolah SMP Negeri tentang data-data yang kurang. Untuk lebih mengefisienkan waktu, maka dua teman kami yaitu Rizal dan Neti sudah berangkat ke wilcah berikutnya yaitu di wilayah Bandung. Mereka minggu sore sudah berangkat, karena untuk menuju ke Bandung cuma memakan waktu 2-3 jam perjalanan motor. Sedangkan saya dan Ria masih menginap di “basecamp” untuk satu malam lagi dan berniat untuk menyelesaikan tugas kami di wilcah Subang.

Senin pagi jam 8 kami berdua berangkat menuju tempat yang akan kami tuju. Untuk lebih mengefisienkn waktu, maka saya dan Ria berbagi tugas. Ria saya antar ke Puskesmas sedangkan saya ke SMP. Karena arah ke Puskesmas dan SMP yang akan kami tuju berbeda arah dan lumayan cukup berjauhan, maka sayapun mengantarkan Ria terlebih dahulu. Setelah memastikan di Puskesmas Ria di terima untuk wawancara oleh Kepala Puskesmas, maka saya minta pamit ke Kepala Puskesmas untuk mewawancara ke sebuah SMP Negeri.

Jam 9 kurang saya keluar dari Puskesmas dan “on the way” ke SMP Negeri yang akan saya tuju. Ketika itu saya menaiki “motor kebanggaan” saya dengan kecepatan sedang. Kebetulan juga jalan yang saya tempuh merupakan jalan yang cukup ramai karena merupakan salah satu jalan menuju Kota Bandung. Ketika memasuki wilayah perkotaan di Subang, tepat di pertigaan sebuah Rumah Sakit Swasta, GUDDDUUBBRRAAAAKK…

Tanpa saya sadari saya telah bertabrakan dengan pengendara sepeda motor yang akan belok kanan ke arah berlawanan saya. Saya tidak dapat menghindar, sehingga kecelakaan tersebut terjadi dengan tiba-tiba. Saya pun terjatuh dan terseret hampir dua meteran. Begitupun juga dengan motor yang satunya lagi. Suasana di pertigaan tersebut menjadi ramai. Banyak orang-orang yang mengerumuni kami. Tanpa “basa-basi” pengendara motor yang saya tabrak bangun dan mendekati saya sambil memegang leher saya dan juga siap-siap dengan kepalan tangannya yang siap untuk memberikan bogemnya kepada saya. Dengan wajah yang masih “linglung” saya pun di ajak ke pinggir jalan dan saya seperti di ceramahi karena mereka tahu bahwa saya bukanlah warga daerah sekitar Subang. Salah satunya dengan melihat plat nomor motor saya yang berplat B (plat nomor Jakarta). Saya pun meminta maaf dan minta ampun agar tidak di pukuli alias main hakim sendiri.

Seharusnya dalam keadaan seperti itu alangkah baiknya menenangkan diri terlebih dahulu dan saling berbicara dengan “kepala dingin”. Setelah “berdebat” dan saya merasa terpojokkan, karena mereka sudah menganggap saya sebagai “terdakwa” terjadinya kecelakaan tersebut. Mereka mengatakan kepada saya apakah tidak tahu bahwa di wilayah pertigaan tersebut apabila mau lurus harus belok dulu ke kiri dan memutari “bunderan kecil” dan langsung lurus lagi. Dengan pembelaan, saya mengatakan bahwa saya orang baru di Subang, jadi tidak tahu jalan-jalan di wilayah tersebut seperti apa. Apalagi di pertigaan tersebut, saya tidak melihat ada rambu-rambu yang mengharuskan saya untuk belok memutari “bundaran kecil” yang ada di pertigaan tersebut.

Walaupun begitu mereka seakan-akan tidak mau tahu, apalagi orang yang bertabrakan dengan saya adalah Ketua Perhimpunan Wartawan Indonesia (PWI) wilayah Subang (katanya) yang sedang buru-buru untuk menghadiri sebuah rapat. Saya “dengan terpaksa” dan merasa “terhakimi” mengakui kesalahan ada di saya, dengan alasan bahwa saya tidak melakukan belok kiri dan memutar di wilayah pertigaan tersebut. Dengan berat hati juga saya “terpaksa” untuk membayar ganti rugi kerusakan motor dan biaya mengobati luka-luka kepada orang tersebut. Kedua motor kami memang dalam keadaan rusak yang cukup lumayan. Namun Alhamdulillah, atas kuasa dan perlindungan Alloh SWT, saya tidak mengalami luka apapun, paling hanya lecet sedikit di kaki saya. Terimakasih Ya Allooh atas lindungan-Mu.

Karena urusan saya di Subang ingin cepat selesai, maka saya pun “deal” membayar beberapa ratus ribu rupiah untuk ganti rugi kerusakan motor dan luka-luka yang di alami orang tersebut, sehingga permasalahan kami tidak melibatkan pihak kepolisian. Setelah “transaksi” selesai, saya langsung menelepon Ria, bahwa saya mengalami kecelakaan motor. Kebetulan Ria hampir menyelesaikan pencarian datanya di Puskesmas, saya menyarankan Ria untuk langsung pulang saja ke basecamp dengan menggunakan angkutan umum.

Saya pun langsung mencari bengkel resmi motor yang saya pakai. Setelah sampai di bengkel tersebut saya menginginkan kepada pihak bengkel agar motor saya bisa di perbaiki hari itu juga, dan Alhamdulillah mereka menyanggupi walaupun untuk memperbaikinya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sambil menunggu, kulihat waktu sudah menunjukkan jam sebelas siang. Maka saya pun langsung teringat akan janji saya bertemu dengan Kepala SMP Negeri yang akan saya tuju. Sambil menunggu motor selesai, maka saya pun langsung menuju SMP tersebut.

Ketika sampai di SMP, saya langsung bertemu dengan Kepala Sekolah dan meminta maaf akan keterlambatan dengan alasan seperti apa yang telah alami tadi pagi. Alhamdulillah Kepala Sekolah memaklumi dan menyampaikan rasa ibanya kepada saya. Pencarian data di SMP pun telah saya bereskan. Saya langsung minta izin untuk pulang dan mohon pamit juga karena pencarian data di wilayah Subang telah selesai.

Saya kemudian menuju bengkel motor untuk melihat keadaan motor saya. Jam satu siang motor belum selesai di perbaiki. Kata mekaniknya mungkin jam tiga sore baru bisa selese. Karena masih lama maka saya pun mencari makan siang, karena dari pagi perut belum terisi makanan. Setelah makan siang saya pun pulang ke basecamp dahulu untuk “packing” barang-barang dan pakaian karena nanti sore kami akan langsung “cabut”, “on the way” ke Bandung.

Jam tiga sore motor Alhamdulillah sudah beres. Meskipun masih terasa berat karena mungkin setelan motornya masih baru dan kaku. Dengan Bismillahirrohmanirroohiim, juga setelah pamit kepada semuanya, saya dan Ria pun pergi meniggalkan Kota Subang. Meninggalkan kejadian-kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan.

Sejak kejadian tersebut kurang lebih lima atau enam hari kemudian, saya menjadi orang pendiam (padahal aslinya kan pendiam:), mungkin karena masih “shock” akan kejadian yang telah menimpa saya. Namun semua itu pasti ada hikmahnya, dan saya merasa bahwa saya masih selalu ada dalam lindungan Alloh SWT dan selalu mensyukuri atas segala nikmat apapun yang telah Alloh SWT berikan kepada saya.

Segala musibah yang kita terima, pasti di balik semuanya akan ada selalu hikmahnya. Tergantung kita bagaimana untuk menerima dan me-manage semuanya itu, menjadi suatu bentuk rasa syukur kita kepada Alloh SWT. Semoga Alloh SWT selalu memberikan hidayah-Nya kepada kita dan kita selalu ada dalam Lindungan-Nya. Amiiinnn…

2 komentar:

  1. So what gitu loh,hua ha ha ha....tendong tendong kemana-mana,bikin fesbuk atuh

    BalasHapus
  2. ini dengan siapa yaa... tapi thanxs ya atas komentnya...

    BalasHapus